Kamis, 17 Januari 2013

Alur LoA Agrista

alur peraihan LoA Agrista bagi mahasiswa Agribisnis yang akan yudisium bisa di download di: http://agribisnis.fp.uns.ac.id/alur-peraihan-loa-bagi-mahasiswa-agribisnis

Rabu, 16 Januari 2013

Sandal Jepit Istriku


Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh, betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini, makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin tak ketulungan. “Ummi… Ummi, kapan kamu dapat memasak dengan benar? Selalu saja, kalau tak keasinan, kemanisan, kalau tak keaseman, ya kepedesan!” Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu. “Sabar Bi, Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul? Ucap isteriku kalem. “Iya. Tapi Abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini!” Jawabku masih dengan nada tinggi. Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya merebak. *******

Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan baiti jannati di rumahku. Namun apa yang terjadi? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumahku tak ubahnya laksana kapal pecah. Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta-pora di dapur, dan cucian, wouw! berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan deterjen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada.

“Ummi… Ummi, bagaimana Abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini?” ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Ummi… isteri sholihah itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah?” Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang kelihatan begitu pilu. “Ah…wanita gampang sekali untuk menangis,” batinku. “Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihah? Isteri shalihah itu tidak cengeng,” bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai. “Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena memang Ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja, jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali,” ucap isteriku diselingi isak tangis. “Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda…” Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak. Hamil muda?!?! Subhanallah … Alhamdulillah… ********

Bi…, siang nanti antar Ummi ngaji ya…?” pinta isteriku. “Aduh, Mi… Abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?” ucapku. “Ya sudah, kalau Abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan,” jawab isteriku. “Lho, kok bilang gitu…?” selaku. “Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa,” ucap isteriku lagi. “Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja,” jawabku ringan. *******

Pertemuan dengan mitra usahaku hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. “Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu,” aku membathin. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Kuperhatikan ada inisial huruf W tertulis di sandal jepit itu. Dug! Hati ini menjadi luruh. “Oh….bukankah ini sandal jepit isteriku?” tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana-mana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus. “Maafkan aku Wida,” pinta hatiku. “Krek…,” suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Widaku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar. Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berabaya gelap dan berjilbab hitam melintas. “Ini dia mujahidah ku!” pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya.

Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri. Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Widaku. Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: “Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya.” Sedang aku? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terzalim! “Dhik…!” panggilku, ketika tubuh berabaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia. “Abi…!” bisiknya pelan dan girang. Sungguh, baru kali ini aku melihat isteriku segirang ini. “Ah, betapa manisnya wajah istriku ketika sedang kegirangan… kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?” sesal hatiku. ****** Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. “Alhamdulillah, jazakallahu…,” ucapnya dengan suara mendalam dan penuh ketulusan. Ah, Widaku, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud (**) dan ‘iffah (***) sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku?

You're truly my love..... 17.01.13



Senin, 14 Januari 2013

PEDOMAN PENULISAN E-JURNAL AGRISTA



1.      Artikel ditulis dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dalam bidang kajian masalah Agribisnis.
2.      Artikel ditulis dengan kaidah tata bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia yang baik, baku, dan benar.
3.      Sistematika Penulisan
Sistematika penjenjangan atau peringkat judul artikel dan bagian-bagiannya dilakukan dengan cara berikut:
(1)   Judul ditulis dengan huruf besar semua, di bagian tengah atas pada halaman pertama
(2)   Sub Bab Peringkat 1 ditulis dengan huruf pertama besar semua di tengah/center
(3)   Sub Bab Peringkat 2 ditulis dengan huruf besar-kecil rata tepi kiri
·         Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi, alamat email penulis, abstrak (maksimum 150 kata) yang berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian; kata kunci (4-5 kata kunci); pendahuluan (tanpa ada subjudul) yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian; metode; hasil penelitian dan pembahasan; simpulan; daftar pustaka/rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk).

JUDUL (ringkas dan lugas; maksimal 14 kata, hindari kata “analisis”, “studi”, “pengaruh”)

Penulis 11 dan Penulis 22

1 Nama instansi/lembaga Penulis 1
Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis
2 Nama instansi/lembaga Penulis 2
Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis
(jika nama instansi penulis 1 dan 2 sama, cukup ditulis satu saja)
E-mail penulis 1 dan 2:

Abstract: Abstract in English (125-150 words)
Keywords: 4-5 words/phrase

Abstrak: Abstrak dalam bahasa Indonesia (125-150 kata)
Kata kunci: 4-5 kata/frasa

PENDAHULUAN
(berisi latar belakang, sekilas tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian, yang dimasukkan dalam paragraf-paragraf bukan dalam bentuk subbab)

METODE PENELITIAN
Subbab
...
HASIL DAN PEMBAHASAN
Subbab
...
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

4.      Artikel diketik pada kertas kwarto berkualitas baik. Dibuat sesingkat mungkin sesuai dengan subyek dan metode penelitian, biasanya 10-12 halaman dengan spasi satu, untukk kutipan paragraf langsung diindent (tidak termasuk daftar pustaka).
5.      Abstrak, ditulis satu paragraf sebelum isi naskah. Abstrak dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Abstrak berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian.
6.      a. Penulisan numbering kalimat pendek diintegrasikan dalam paragraf, contohnya:
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah (1) Menganalisis faktor-faktor pembentuk persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo, (2) Menganalisis persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo, (3) Menganalisis hubungan antara faktor-faktor pembentuk persepsi dengan persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo
b. Penulisan bullet juga diintegrasikan dalam paragraf dengan menggunakan tanda koma pada antarkata/kalimat tanpa bullet
7.      Tabel dan gambar, untuk tabel dan gambar (grafik) sebagai lampiran dicantumkan pada halaman sesudah teks. Sedangkan tabel atau gambar baik di dalam naskah maupun bukan harus diberi nomor urut.
a.      Tabel atau gambar harus disertai judul. Judul tabel diletakkan di atas tabel sedangkan judul gambar diletakkan di bawah gambar.
b.      Sumber acuan tabel atau gambar dicantumkan di bawah tabel atau gambar
c.       Garis tabel yang dimunculkan hanya pada bagian header dan garis bagian paling bawah tabel sedangkan untuk garis-garis vertikal pemisah kolom tidak dimunculkan
d.      Tabel atau gambar bisa diedit dan dalam warna hitam putih yang representatif

Contoh Penyajian Tabel
Tabel 1. Bentuk-bentuk Mobilitas Penduduk
No
Bentuk Mobilitas
Batas Wilayah
Batas Waktu
1.
2.
3.
Ulang-alik (commuting)
Mondok di daerah tujuan
Menetap di daerah tujuan
Dukuh
Dukuh
Dukuh
6 jam atau lebih, kembali pada hari sama
Lebih dari satu hari tetapi kurang dari 6 bulan
6 bulan atau lebih menetap di daerah tujuan
Sumber: Ida Bagoes, 2000
Contoh Penyajian Gambar
                        Sumber: Komariyah, 2011
Gambar 1. Alat penakar hujan terdiri dari 3 komponen, yaitu: tabung penampung air hujan, penutup tabung berbentuk corong, dan gelas ukur 100cc yang telah dikalibrasi dengan gelas ukur penakar hujan standar untuk menakar curah hujan.
8.      Cara Penulisan rumus, Persamaan-persamaan yang digunakan disusun pada baris terpisah dan diberi nomor secara berurutan dalam parentheses (justify) dan diletakkan pada margin kanan sejajar dengan baris tersebut, contoh:
          Wt = f (yt, kt, wt-1)                                                                                           (1)
9.      Keterangan rumus, ditulis dalam satu paragraf tanpa menggunakan simbol sama dengan (=), masing-masing keterangan notasi rumus dipisahkan dengan koma. Contoh:
           Dimana w adalah upah nominal, yt adalah produktivitas pekerja, kt adalah intensitas modal, wt-1 adalah tingkat upah periode sebelumnya.
10.  Perujukan sumber acuan di dalam teks (body text) dengan menggunakan nama akhir dan tahun. Kemudian bila merujuk pada halaman tertentu, penyebutan halaman setelah penyebutan tahun dengan dipisah titik dua. Untuk karya terjemahan dilakukan dengan cara menyebutkan nama pengarang aslinya.
Contoh:
·      Buiter (2007:459) berpendapat bahwa....
·      Fatimah dan Daryono (1997) menunjukkan adanya...
·      Didit dkk (2007) berkesimpulan bahwa...
·      Untuk meningkatkan perekonomian daerah ... (Yuni, Triyono, dan Agung Riyadi, 2009)
·      Maya (2009) berpendapat bahwa ...
11.  Setiap kutipan harus diikuti sumbernya (lihat poin no. 10) dan dicantumkan juga dalam daftar pustaka. Contoh:
Di dalam paragraf isi (Body Text) ada kutipan:
            Buiter (2007:459) berpendapat bahwa ...
Maka sumber kutipan tersebut wajib dicantumkan/disebutkan di dalam daftar pustaka:
            Buiter, W.II. 2007. The Fiscal Theory of the Price Level: A Critique, Economic Journal. 112 (127):459.
12.  Sedapat mungkin pustaka-pustaka yang dijadikan acuan adalah pustaka yang diterbitkan 10 tahun terakhir dan diutamakan lebih banyak dari jurnal ilmiah (50 persen)
13.  Unsur yang ditulis dalam daftar pustaka secara berturut-turut meliputi: (1) nama akhir pengarang, nama awal, nama tengah, tanpa gelar akademik. (2) tahun penerbitan. (3) judul termasuk sub judul. (4) tempat penerbitan. (5) nama penerbit.
14.  Referensi Online yang dianjurkan dalam penggunaan bahasa Indonesia:
a)   Glosarium kata baku dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan nasional Republik Indonesia: http://pusatbahasa.diknas.go.id/glosarium
b)   Kamus Besar Bahasa Indonesia dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia: http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/kbbi/

c)    Pedoman umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD): http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/lamanv4/sites/default/files/EJD-KKP-PBN-BID.PENGEMBANGAN.pdf

Senin, 18 Juli 2011

Filosofi, Prinsip, dan Etika Penyuluhan Pertanian

A. Falsafah Penyuluhan Pertanian

Meskipun telah lama dipahami bahwa penyuluhan merupakan proses pendidikan, tetapi dalam sejarah penyuluhan pertanian di Indonesia, terutama selama periode pemerintahan Orde Baru, kegiatan penyuluhan lebih banyak dilakukan dengan pendekatan kekuasaan melalui kegiatan yang berupa pemaksaan, sehingga muncul gurauan: dipaksa, terpaksa, akhirnya terbiasa. Terhadap kenyataan seperti itu, Soewardi (1986) telah mengingat kepada semua insan penyuluhan kembali untuk menghayati makna penyuluhan sebagai proses pendidikan.

Tentang hal ini, diakui bahwa, penyuluhan sebagai proses perubahan perilaku melalui pendidikan akan memakan waktu lebih lama, tetapi perubahan perilaku yang terjadi akan berlangsung lebih kekal. Sebaliknya, meskipun perubahan perilaku melalui pemaksaan dapat lebih cepat dan mudah dilakukan, tetapi perubahan perilaku tersebut akan segera hilang, manakala faktor pemaksanya sudah dihentikan.

Dalam khasanah kepustakaan penyuluhan pertanian, banyak kita jumpai beragam falsafah penyuluhan pertanian. Berkaitan dengan itu, Ensminger (1962) mencatat adanya 11 (sebelas) rumusan tentang falsafah penyuluhan.

Di Amerika Serikat juga telah lama dikembangkan falsafah 3-T: teach, truth, and trust (pendidikan, kebenaran dan kepercayaan/keyakinan).

Artinya, penyuluhan merupakan kegiatan pendidikan untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran yang telah diyakini. Dengan kata lain, dalam penyuluhan pertanian, petani dididik untuk menerapkan setiap informasi (baru) yang telah diuji kebenarannya dan telah diyakini akan dapat memberikan manfaat (ekonomi maupun non ekonomi) bagi perbaikan kesejahteraannya.

Rumusan lain yang lebih tua dan nampaknya paling banyak dikemukakan oleh banyak pihak dalam banyak kesempatan adalah, yang dikutip Kelsey dan Hearne (1955) yang menyatakan bahwa falsafah penyuluhan harus berpijak kepada pentingnya pengem- bangan individu di dalam perjalanan pertumbuhan masyarakat dan bangsanya. Karena itu, ia mengemukakan bahwa: falsafah penyuluh-an adalah: bekerja bersama masyarakat untuk membantunya agar mereka dapat meningkatkan harkatnya sebagai manusia (helping people to help themselves).

Tentang hal ini, Supadi (2006) memberikan catatan bahwa dalam budaya feodalistik, pihak yang membantu selalu ditempatkan pada kedudukan yang ”lebih tinggi” dibanding yang dibantu. Pemaha,man seperti itu, sangat kontradiktif dengan teori pendidikan kritis untuk pembebasan.

Karena itu, pemahaman konsep ”membantu masyarakat agar dapat membantu dirinya sendiri” harus dipahami secara demokratis yang menempatkan kedua-belah pihak dalam kedudukan yang setara. Dari pemahaman seperti itu, terkandung pengertian bahwa:

1) Penyuluh harus bekerjasama dengan masyarakat, dan bukannya bekerja untuk masyarakat (Adicondro, 1990). Kehadiran penyu-luh bukan sebagai penentu atau pemaksa, tetapi ia harus mampu menciptakan suasana dialogis dengan masyarakat dan mampu menumbuhkan, mengge-rakkan, serta memelihara partisipasi masyarakat.

2) Penyuluhan tidak boleh menciptakan ketergantungan, tetapi harus mampu mendorong semakin terciptanya kreativitas dan keman-dirian masyarakat agar semakin memiliki kemampuan untuk ber-swakarsa, swadaya, swadana, dan swakelola bagi terselenggara-nya kegiatan-kegiatan guna tercapainya tujuan, harapan, dan keinginan-keinginan masyarakat sasarannya.

3) Penyuluhan yang dilaksanakan, harus selalu mengacu kepada terwujudnya kesejahteraan ekonomi masyarakat dan peningkatan harkatnya sebagai manusia.

Berkaitan dengan falsafah “helping people to help themselves” Ellerman (2001) mencatat adanya 8 (delapan) peneliti yang mene-lusuri teori pemberian bantuan, yaitu:

1) Hubungan Penasehat dan Aparat Birokrasi Pemerintah (Albert Hirschman), melalui proses pembelajaran tentang: ide-ide baru, analisis keadaan dan masalahnya yang diikuti dengan tawaran solusi dan minimalisasi konfrontasi/ketegangan yang terjadi: antara aparat pemerintah dan masyarakat, antar sesama aparat, dan antar kelompok-kelompok masyarakat yang merasa dirugikan dan yang menimati keuntungan dari kebijakan pemerintah.

2) Hubungan Guru dan Murid (John Dewey), dengan memberikan:

a) kesempatan untuk mengenali pengalamanannya,

b) stimulus untuk berpikir dan menemukan masalahnya sendiri,

c) memberikan kesempatan untuk melakukan “penelitian”

d) tawaran solusi untuk dipelajari

e) kesempatan untuk menguji idenya dengan aplikasi langsung

3) Hubungan Manajer dan Karyawan (Douglas McGregor), melalui pemberian tanggungjawab sebagai alat kontrol diri (self controle)

4) Hubungan Dokter dan Pasien (Carl Rogers), melalui pemberian saran yang konstruktif dengan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki dan atau diusahakannya sendiri.

Uji-coba kegiatan melalui pemberian dana dan manajemen dari luar, ternyata tidak akan memberikan hasil yang lebih baik.

5) Hubungan Guru Spiritual dan Murid (Soren Kierkegaard), melalui pemahaman bahwa masalah atau kesalahan hanya dapat diketahui oleh yang mengalaminya (diri sendiri).

Guru tidak boleh menonjolkan kelebihannya, tetapi harus merendah diri, siap melayani,dan menyediakan waktu dengan sabar

6) Hubungan Organisator dan Masyarakat (Saul Alinsky), melalui upaya demokratisasi, menumbuh-kembangkan partisipasi, dan mengembangkan keyakinan (rasa percaya diri) untuk meme-cahkan masalahnya sendiri.

7) Hubungan Pendidik dan Masyarakat (Paulo Freire), melalui proses penyadaran dan memberikan kebebasan untuk melakukan segala sesuatu yang terbaik menurut dirinya sendiri.

8) Hubungan Agen-pembangunan dan Lembaga Lokal (E.F. Schumacher), melalui program bantuan untuk mencermati apa yang dilakukan seseorang (masyarakat) dan membantu agar mereka dapat melakukan perbaikanperbaikan sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya.

Mengacu kepada pemahaman tentang penyuluhan sebagai proses pendidikan, di Indonesia dikenal adanya falsafah pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantoro yang berbunyi:

1) Ing ngarso sung tulodo, mampu memberikan contoh atau taladan bagi masyarakat sasarannya;

2) Ing madyo mangun karso, mampu menumbuhkan inisyatif dan mendorong kreativitas, serta semangat dan motivasi untuk selalu belajar dan mencoba;

3) Tut wuri handayani, mau menghargai dan mengikuti keinginan-keinginan serta upaya yang dilakukan masyarakat petaninya, sepanjang tidak menyimpang/meninggalkan acuan yang ada, demi tercapainya tujuan perbaikan kese-jahteraan hidupnya.

Masih bertolak dari pemahaman penyuluhan merupakan salah satu sistem pendidikan, Mudjiyo (1989) mengingatkan untuk mengaitkan falsafah penyuluhan dengan pendidikan yang memiliki falsafah: idealisme, realisme dan pragmatisme, yang berarti bahwa penyuluhan pertanian harus mampu menumbuhkan cita-cita yang melandasi untuk selalu berfikir kreatif dan dinamis. Di samping itu, penyuluhan pertanian harus selalu mengacu kepada kenyataan-kenyataan yang ada dan dapat ditemui di lapang atau harus selalu disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi. Meskipun demikian, penyuluhan harus melakukan hal-hal terbaik yang dapat dilakukan, dan bukannya mengajar kondisi terbaik yang sulit direalisir.

Lebih lanjut, karena penyuluhan pada dasarnya harus merupakan bagian integral dan sekaligus sarana pelancar atau bahkan penentu kegiatan pembangunan, Slamet (1989) menekankan perlunya

1) perubahan administrasi penyuluhan dari yang bersifat “regulatif sentralistis” menjadi “fasilitatif partisipatif”, dan

2) pentingnya kemauan penyuluh untuk memahami budaya lokal yang seringkali juga mewarnai “local agriclutural practices”.

Pemahaman seperti itu, mengandung pengertian bahwa:

1) Administrasi penyuluhan tidak selalu dibatasi oleh peraturan-peraturan dari “pusat” yang kaku, karena hal ini seringkali menja-dikan petani tidak memperoleh keleluasaan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Demikian juga halnya dengan admi-nistrasi yang terlalu “sentralistis” seringkali tidak mampu secara cepat mengantisipasi permasalahan-permasalahan yang timbul di daerah-daerah, karena masih menunggu “petunjuk” atau restu dari pusat.

Di pihak lain, dalam setiap permasalahan yang dihadapi, peng-ambilan keputusan yang dilakukan oleh petani seringkali ber-dasarkan pertimbangan bagaimana untuk dapat “menyelamatkan keluarganya”. Dalam kasus-kasus seperti itu, seharusnya penyuluh diberi kewenangan untuk secepatnya pula mengambil inisyatifnya sendiri. Karena itu, administrasi yang terlalu “regulatif” seringkali sangat membatasi kemerdekaan petani untuk mengambil keputusan bagi usahataninya.

2) Penyuluh, selain memberikan “ilmu”nya kepada petani, ia harus mau belajar tentang “ngelmu”nya petani yang seringkali dianggap tidak rasional (karena yang oleh penyuluh dianggap rasional adalah yang sudah menjadi petunjuk pusat). Padahal, praktek-praktek usahatani yang berkembang dari budaya lokal seringkali juga sangat rasional, karena telah mengalami proses “trial and error” dan teruji oleh waktu.

B. Prinsip-Prinsip Penyuluhan Pertanian

Mathews menyatakan bahwa: prinsip adalah suatu pernyataan tentang kebijaksanaan yang dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan dan melaksanakan kegiatan secara konsisten. Karena itu, prinsip akan berlaku umum, dapat diterima secara umum, dan telah diyakini kebenarannya dari berbagai peng-amatan dalam kondisi yang beragam. Dengan demikian “prinsip” dapat dijadikan sebagai landas-an pokok yang benar, bagi pelaksanaan kegiatan yang akan dilak-sanakan.

Meskipun “prinsip” biasanya diterapkan dalam dunia akademis, Leagans(1961) menilai bahwa setiap penyuluh dalam melaksanakan kegiatannya harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip penyuluhan.

Tanpa berpegang pada prinsip-prinsip yang sudah disepakati, seorang penyuluh (apalagi administrator penyuluhan) tidak mungkin dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik.

Bertolak dari pemahaman penyuluhan sebagai salah satu sistem pendidikan, maka penyuluhan memiliki prinsip-prinsip:

1) Mengerjakan, artinya, kegiatan penyuluhan harus sebanyak mungkin melibatkan masyarakat untuk mengerjakan/ menerapkan sesuatu. Karena melalui “mengerjakan” mereka akan mengalami proses belajar (baik dengan menggunakan pikiran, perasaan, dan ketram-pilannya) yang akan terus diingat untuk jangka waktu yang lebih lama.

2) Akibat, artinya, kegiatan penyuluhan harus memberikan akibat atau pengaruh yang baik atau bermanfaat.

Sebab, perasaan senang/puas atau tidak-senang/kecewa akan mempengaruhi semangatnya untuk mengikuti kegiatan belajar/ penyuluhan dimasa-masa mendatang.

3) Asosiasi, artinya, setiap kegiatan penyuluhan harus dikaitkan dengan kegiatan lainnya. Sebab, setiap orang cenderung untuk mengaitkan/menghubungkan kegiatannya dengan kegiatan/peris-tiwa yang lainnya.

Misalnya, dengan melihat cangkul orang diingatkan kepada penyuluhan tentang persiapan lahan yang baik; melihat tanaman yang kerdil/subur, akan mengingatkannya kepada usahaa-usaha pemupukan, dll.

Lebih lanjut, Dahama dan Bhatnagar (1980) mengungkapkan prinsip-prinsip penyuluhan yang lain yang mencakup:

1) Minat dan Kebutuhan, artinya, penyuluhan akan efektif jika selalu mengacu kepada minat dan kebutuhan masyarakat. Mengenai hal ini, harus dikaji secara mendalam: apa yang benar-benar menjadi minat dan kebutuhan yang dapat menyenangkan setiap individu maupun segenap warga masyarakatnya, kebutuhan apa saja yang dapat dipenyui sesuai dengan terse-dianya sumberdaya, serta minat dan kebutuhan mana yang perlu mendapat prioritas untuk dipenuhi terlebih dahulu.

2) Organisasi masyarakat bawah, artinya penyuluhan akan efektif jika mampu melibatkan/menyentuk organisasi masyarakat bawah, sejak dari setiap keluarga/kekerabatan.

3) Keragaman budaya, artinya, penyuluhan harus memperha-tikan adanya keragaman budaya. Perencanaan penyuluhan harus selalu disesuaikan dengan budaya lokal yang beragam.

Di lain pihak, perencanaan penyuluhan yang seragam untuk seti-ap wilayah seringkali akan menemui hambatan yang bersumber pada keragaman budayanya.

4) Perubahan budaya, artinya setiap kegiatan penyuluhan akan mengakibatkan perubahan budaya. Kegiatan penyuluhan harus dilaksanakan dengan bijak dan hati-hati agar perubahan yang terjadi tidak menimbulkan kejutan-kejutan budaya. Karena itu, setiap penyuluh perlu untuk terlebih dahulu memperhatikan nilai-nilai budaya lokal seperti tabu, kebiasaan-kebiasaan, dll.

5) Kerjasama dan partisipasi, artinya penyuluhan hanya akan efektif jika mampu menggerakkan partisipasi masyarakat untuk selalu bekerjasama dalam melaksanakan program-program penyuluhan yang telah dirancang.

6) Demokrasi dalam penerapan ilmu, artinya dalam penyuluhan harus selalu memberikan kesempatan kepada masyarakatnya untuk menawar setiap ilmu alternatif yang ingin diterapkan. Yang dimaksud demokrasi di sini, bukan terbatas pada tawar-menawar tentang ilmu alternatif saja, tetapi juga dalam penggunaan metoda penyuluhan, serta proses pengambilan keputusan yang akan dilakukan oleh masyarakat sasarannya.

7) Belajar sambil bekerja, artinya dalam kegiatan penyuluhan harus diupayakan agar masyarakat dapat “belajar sambil bekerja” atau belajar dari pengalaman tentang segala sesuatu yang ia kerjakan. Dengan kata lain, penyuluhan tidak hanya sekadar menyampaikan informasi atau konsep-konsep teoritis, tetapi harus memberikan kesempatan kepada masyarakat sasaran untuk mencoba atau memperoleh pangalaman melalui pelaksanaan kegiatan secara nyata.

8) Penggunaan metoda yang sesuai, artinya penyuluhan harus dilakukan dengan penerapan metoda yang selalu disesuaikan dengan kondisi (lingkungan fisik, kemampuan ekonomi, dan nilai sosialbudaya) sasarannya.

Dengan kata lain, tidak satupun metoda yang dapat diterapkan di semua kondisi sasaran dengan efektif dan efisien.

9) Kepemimpinan, artinya, penyuluh tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang hanya bertujuan untuk kepentingan/kepuasannya sendiri, dan harus mampu mengembangkan kepemimpinan.

Dalam hubungan ini, penyuluh sebaiknya mampu menumbuhkan pemimpin-pemimpin lokal atau memanfaatkan pemimpin lokal yang telah ada untuk membantu kegiatan penyuluhannya.

10) Spesialis yang terlatih, artinya, penyuluh harus benar-benar pribadi yang telah memperoleh latihan khusus tentang segala sesuatu yang sesuai dengan fungsinya sebagai penyuluh.

Penyuluh-penyuluh yang disiapkan untuk menangani kegiatan-kegiatan khusus akan lebih efektif dibanding yang disiapkan untuk melakukan beragam kegiatan (meskipun masih berkaitan dengan kegiatan pertanian).

11) Segenap keluarga, artinya, penyuluh harus memperhatikan keluarga sebagai satu kesatuan dari unit sosial. Dalam hal ini, terkandung pengertian-pengertian:

a) Penyuluhan harus dapat mempengaruhi segenap anggota keluarga,

b) Setiap anggota keluarga memiliki peran/pengaruh dalam setiap pengambilan keputusan,

c) Penyuluhan harus mampu mengembangkan pemahaman bersama

d) Penyuluhan mengajarkan pengelolaan keuangan keluarga

e) Penyuluhan mendorong keseimbangan antara kebutuhan keluarga dan kebutuhan usahatani,

f) Penyuluhan harus mampu mendidik anggota keluarga yang masih muda,

g) Penyuluhan harus mengembangkan kegiatan-kegiatan keluar-ga, memperkokoh kesatuan keluarga, baik yang menyangkut masalah sosial, ekonomi, maupun budaya

h) Mengembangkan pelayanan keluarga terhadap masyarakat-nya.

12) Kepuasan, artinya, penyuluhan harus mampu mewujudkan tercapainya kepuasan.

Adanya kepuasan, akan sangat menentukan keikutsertaan sasaran pada program-program penyuluhan selanjutnya.

Terkait dengan pergeseran kebijakan pembangunan pertanian dari peningkatan produktivitas usahatani ke arah pengembangan agribisnis, dan di lain pihak seiring dengan terjadinya perubahan sistem desentralisasi pemerintahan di Indonesia, telah muncul pemikiran tentang prinsip-prinsip (Soedijanto, 2001):

1) Kesukarelaan, artinya, keterlibatan seseorang dalam kegiatan penyuluhan tidak boleh berlangsung karena adanya pemaksaan, melainkan harus dilandasi oleh kesadaran sendiri dan motivasinya untuk memperbaiki dan memecahkan masalah kehidupan yang dirasakannya.

2) Otonom, yaitu kemampuannya untuk mandiri atau melepaskan diri dari ketergantungan yang dimiliki oleh setiap individu, kelompok, maupun kelembagaan yang lain.

3) Keswadayaan, yaitu kemampuannya untuk merumuskan melak-sanakan kegiatan dengan penuh tanggung-jawab, tanpa menunggu atau mengharapkan dukungan pihak luar.

4) Partisipatip, yaitu keterlibatan semua stakeholders sejak peng-ambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, eva-luasi, dan pemanfaatan hasil-hasil kegiatannya.

5) Egaliter, yang menempatkan semua stakehoder dalam kedudukan yang setara, sejajar, tidak ada yang ditinggikan dan tidak ada yang merasa diirendahkan.

6) Demokrasi, yang memberikan hak kepada semua pihak untuk mengemukakan pendapatnya, dan saling menghargai pendapat maupun perbedaan di antara sesama stakeholders.

7) Keterbukaan, yang dilandasi kejujuran, saling percaya, dan saling mempedulikan.

8) Kebersamaan, untuk saling berbagi rasa, saling membantu dan mengembangkan sinergisme.

9) Akuntabilitas, yang dapat dipertanggungjawabkan dan terbuka untuk diawasi oleh siapapun.

10) Desentralisasi, yang memberi kewenangan kepada setiap daerah otonom (kabupaten dan kota) untuk mengoptimalkan sumberdaya pertanian bagi sebesar-besar kemakmuran masyarakat dan kesinambungan pembangunan.

C. Etika Penyuluhan

Suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal adalah “kegiatan penyuluhan” bukan lagi menjadi kegiatan sukarela, tetapi telah berkembang menjadi “profesi”.

Meskipun demikian, pelaksanaan penyuluhan pertanian belum sungguh-sungguh dilaksanakan secara profesional. Hal ini, terlihat pada:

1) Kemampuan penyuluh untuk melayani kliennya yang masih terpusat pada aspek teknis budidaya pertanian, sedang aspek manajemen, pendidikan kewirausahaan, dan hak-hak politik petani relatif tidak tersentuh.

2) Kelambanan transfer inovasi yang dilakukan penyuluh dibanding kecepatan inovasi yang ditawarkan kepada masyarakat oleh pelaku bisnis, LSM, media-masa dan stakeholder yang lain.

3) Kebanggaan penyuluh terhadap jabatan fungsional yang disan-dangnya yang lebih rendah dibanding harapannya untuk mem-peroleh kesempatan menyandang jabatan struktural.

4) Kinerja penyuluh yang lebih mementingkan pengumpulan “credit point” dibanding mutu layanannya kepada masyarakat

5) Persepsi yang rendah terhadap kinerja penyuluh yang dikemu-kakan oleh masyarakat petani dan stakeholder yang lain.

Kenyataan-kenyataan seperti itu, sudah lama disadari oleh masyarakat penyuluhan pertanian di Indonesia, sehingga pada Kongres Penyu-luhan Pertanian ke I pada tahun 1986 disepakati untuk merumuskan “Etika Penyuluhan” yang seharusnya dijadikan acuan perilaku penyuluh..

Pengertian tentang Etika, senantiasa merujuk kepada tata pergaulan yang khas atau ciri-ciri perilaku yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi, mengasosiasikan diri, dan dapat merupakan sumber motivasi untuk berkarya dan berprestasi bagi kelompok tertentu yang memilikinya.

Etika bukanlah peraturan, tetapi lebih dekat kepada nilai-nilai moral untuk membangkitkan kesadaran untuk beriktikad baik dan jika dilupakan atau dilanggar akan berakibat kepada tercemarnya pribadi yang bersangkutan, kelompoknya, dan anggota kelompok yang lainnya (Muhamad, 1987).

Sehubungan dengan itu, Herman Soewardi mengingatkan bahwa penyuluh harus mampu berperilaku agar masyarakat selalu memberi-kan dukungan yang tulus ikhlas terhadap kepentingan nasional.

Tentang hal ini, Padmanegara (1987) mengemukakan beberapa perilaku yang perlu ditunjukkan atau diragakan oleh setiap penyuluh (pertanian), yang meliputi:

1) Perilaku sebagai manusia seutuhnya, yaitu manusia yang ber-iman kepada Tuhan Yang Maha Esa, jujur, dan disiplin.

2) Perilaku sebagai anggota masyarakat, yaitu mau menghormati adat/kebiasaan masyarakatnya, menghormati petani dan keluarga-nya (apapun keadaan dan status sosial ekonominya), dan meng-hormati sesama penyuluh.

3) Perilaku yang menunjukkan penampilannyaa sebagai penyuluh yang andal, yaitu: berkeyakinan kuat atas manfaat tugasnya, memiliki tanggungjawab yang besar untuk melaksanakan peker-jaannya, memiliki jiwa kerjasama yang tinggi, dan berkemam-puan untuk bekerja teratur.

4) Perilaku yang mencerminkan dinamika, yaitu ulet, daya mental dan semangat kerja yang tinggi, selalu berusaha mencerdaskaan diri, dan selalu berusaha meningkatkan kemampuannya.